Rabu, 27 April 2016

KISAH PERANTAU (PART 1)



Beribu satu alasan orang pergi untuk merantau. Dari yang mencari pekerjaan, kuliah, hingga mencari jodoh. Bagi yang tujuannya tercapai, berarti mereka telah suskses. Tetapi kalau tidak, mereka hanya akan menjadi “sampah” kota.  

Walaupun saya seorang wanita bertubuh kurus kecil mungil dan berhidung mancung, saya adalah seorang perantau. Alasan klasiknya adalah untuk menggapai cita-cita saya, yaitu menjadi seorang sutradara. Alasan kerennya adalah karena saya sudah bosan hidup di Kalimantan Barat dan ingin jalan-jalan mengelilingi pulau Jawa. Lalu Bandung pun menjadi rumah kedua saya. 

Dengan kedua alasan itu, saya sangat jarang merasakan homesick alias rindu rumah. Hati saya lebih sering membara untuk menyusun jadwal travelling, berorganisasi di hal yang saya senangi, dan mengerjakan tugas kuliah dengan semangat menggapai asa. 

Walaupun jarang merasa homesick, bukan berarti saya tidak pernah merasakan homesick. Menurut saya, ada suatu moment dimana semua perantau akan merasakan homesick jika mengalaminya. Yaitu adalah ketika si perantau jatuh “sakit”. Baik sakit fisik atau pun hati. Dan pada saat ini lah, para perantau akan sangat merindukan perhatian kedua orang tuanya terutama mama sang penenang jiwa atau pun keluarga terdekatnya.

Bagi perantau, teman adalah keluarga. Dan hanya teman lah yang akan selalu menjadi penolongmu di dunia perantauan ini. Menjadi seorang perantau berarti belajar mempercayai dan memahami orang lain. Belajarlah untuk mempercayai mereka. Maka mereka akan mempercayaimu. Tetapi mempercayai seseorang juga harus dengan pintar. Jangan sampai kau dengan mudah di bodohi. Dan jika kau sudah di bodohi, maka pahami kenapa dia melakukan hal tersebut. Lalu maafkan. Tetapi jangan pernah untuk melupakan.