Beribu
satu alasan orang pergi untuk merantau. Dari yang mencari pekerjaan, kuliah,
hingga mencari jodoh. Bagi yang tujuannya tercapai, berarti mereka telah
suskses. Tetapi kalau tidak, mereka hanya akan menjadi “sampah” kota.
Walaupun
saya seorang wanita bertubuh kurus kecil mungil dan berhidung mancung, saya
adalah seorang perantau. Alasan klasiknya adalah untuk menggapai cita-cita saya,
yaitu menjadi seorang sutradara. Alasan kerennya adalah karena saya sudah bosan
hidup di Kalimantan Barat dan ingin jalan-jalan mengelilingi pulau Jawa. Lalu
Bandung pun menjadi rumah kedua saya.
Dengan
kedua alasan itu, saya sangat jarang merasakan homesick alias rindu rumah. Hati saya lebih sering membara untuk
menyusun jadwal travelling, berorganisasi
di hal yang saya senangi, dan mengerjakan tugas kuliah dengan semangat
menggapai asa.
Walaupun
jarang merasa homesick, bukan berarti
saya tidak pernah merasakan homesick. Menurut
saya, ada suatu moment dimana semua
perantau akan merasakan homesick jika
mengalaminya. Yaitu adalah ketika si perantau jatuh “sakit”. Baik sakit fisik
atau pun hati. Dan pada saat ini lah, para perantau akan sangat merindukan
perhatian kedua orang tuanya terutama mama sang penenang jiwa atau pun keluarga
terdekatnya.
Bagi
perantau, teman adalah keluarga. Dan hanya teman lah yang akan selalu menjadi
penolongmu di dunia perantauan ini. Menjadi seorang perantau berarti belajar
mempercayai dan memahami orang lain. Belajarlah untuk mempercayai mereka. Maka
mereka akan mempercayaimu. Tetapi mempercayai seseorang juga harus dengan
pintar. Jangan sampai kau dengan mudah di bodohi. Dan jika kau sudah di bodohi,
maka pahami kenapa dia melakukan hal tersebut. Lalu maafkan. Tetapi jangan
pernah untuk melupakan.